Malang, MC – Peringatan Hari Musik Nasional pada 9 Maret ini, mengingatkan bahwa Kota Malang memiliki sebuah museum yang menyimpan aneka ragam karya berkaitan dengan musik. Ya, inilah Museum Musik Indonesia (MMI) yang berlokasi di Jalan Nusakambangan Nomor 19, Kota Malang.
Museum ini merupakan museum musik pertama yang ada di Indonesia dan memiliki berbagai macam koleksi dari era 60-an hingga saat ini. “Museum Musik Indonesia secara de facto berdiri sejak 2009. Dulu namanya masih Galeri Malang Bernyanyi dan diresmikan Wali Kota Malang kala itu,” tutur Hengki Herwanto, salah satu penggagas museum ini.
Koleksi-koleksi musik yang ada di museum ini berasal dari berbagai pihak. Dari semua koleksi ini sebagian besar adalah sumbangan masyarakat. Setiap ada sumbangan, diunggah di Facebook, sehingga itu mendorong masyarakat ikut menyumbang.
“Akhirnya setelah ada peraturan pemerintah terkait museum, yang mewajibkan museum berbadan hukum, tahun 2016 kami mendirikan Yayasan Museum Musik Indonesia dan oleh Pemkot Malang kami dipinjami gedung ini,” cerita pria berusia 65 tahun ini.
Cikal bakal Galeri Malang ini di Jalan Citarum Nomor 17 Kota Malang. Setelah tiga tahun di sana, kemudian pindah ke daerah Soekarno-Hatta. Hingga tahun 2021 lalu, jumlah koleksi di Museum Musik Indonesia ada sekitar 40 ribu.
“Paling banyak adalah rekaman musik dalam bentuk piringan hitam, kaset, dan CD. Itu ada sekitar 25 ribu. Sisanya adalah koleksi yang berbentuk buku, majalah, alat musik seperti gitar, keyboard, drum, selain itu juga kami menyimpan aneka macam alat musik tradisional dari hampir seluruh daerah di Indonesia,” tuturnya.
Tak hanya berawal dari kecintaannya pada musik, Hengki bersama kawan-kawannya di Galeri Malang Bernyanyi kala itu ada sebuah tujuan mulia. Dengan mengumpulkan ini (karya musik), pihaknya berharap bisa mengisi dan memajukan kebudayaan bangsa Indonesia melalui musik dengan menjadikan museum ini menjadi pusat dokumentasi karya musik Indonesia.
“Kami berharap dengan adanya dokumentasi ini kita bisa melestarikan karya musik khususnya Indonesia. Jangan sampai karya-karya pendahulu kita ini hilang ditelan zaman, sehingga tidak bisa diarsipkan dan diwariskan ke anak cucu atau bahkan sampai diakui bangsa lain. Kan sayang,” harapnya.
Museum Musik Indonesia sempat menjadi museum satu-satunya di Indonesia yang menyimpan beragam bentuk karya yang berhubungan dengan musik. Tak hanya karya-karya lokal Malang, nyatanya museum ini juga memiliki banyak koleksi nusantara bahkan luar negeri. Namun, seiring waktu kini telah muncul museum musik lainnya, seperti Museum Musik Dunia di Kota Batu.
Tak hanya melihat, pengunjung di sini juga boleh memilih piringan hitam dan menyetelnya. Museum ini juga menyajikan beragam tembang masa lalu yang tidak kalah saing dengan musik sekarang. Bahkan, banyak pengunjung yang datang ke Museum Musik Indonesia untuk sekadar mendengarkan musik zaman dulu seperti Koes Plus, Bimbo, Bike Ardila, The Beatles, Queen, dan lainnya melalui piringan hitam. Di museum ini, pengunjung boleh menjajal aneka alat musik yang ada.
Hengki menuturkan, sebelum pandemi Covid-19, pengunjung cukup tinggi. Dalam setahun, ada sekitar 2.000 hingga 3.000 pengunjung. Namun berkurang seiring semakin terbatasnya kegiatan selama pandemi ini. Selama pandemi, pihaknya banyak melakukan pekerjaan internal, seperti merawat koleksi, mencatat, dan mendokumentasikan di website dan buku katalog. Sehingga informasi yang ada di museum ini dapat diakses secara luas oleh masyarakat.
“Program dokumentasi yang dilakukan oleh Museum Musik Indonesia ini juga mendapat dukungan dari UNESCO. Bentuk dukungannya ya biaya untuk perawatan, pembaruan website, cetak buku, scan, menulis, dan semacamnya,” tuturnya.
Museum ini buka setiap Selasa-Minggu mulai pukul 10.00-17.00 WIB. Harga tiket masuknya pun cukup terjangkau, hanya Rp10 ribu dan bisa menikmati karya musik sepuasnya. (ari/ram)