Klojen (malangkota.go.id) – Setiap tahunnya, di tanggal terakhir bulan Februari, yakni tanggal 28 Februari atau 29 Februari (tahun kabisat) diperingati sebagai Rare Disease Day atau Hari Penyakit Langka Sedunia. Peringatan ini diinisiasi oleh European Organization for Rare Disease (EURORDIS) pada tahun 2008 bertujuan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat tentang penyakit langka. Kini, Rare Disease Day telah menjadi agenda internasional yang diikuti oleh 106 negara. Indonesia sendiri turut memperingati Rare Disease Day sejak tahun 2016.
Tahun 2023 ini, Mom of Rare Disease (MORE) Community memperingati Rare Disease Day dengan menggelar kegiatan di salah satu pusat perbelanjaan di Kota Malang, Senin (27/2/2023). Kegiatan ini meliputi talkshow bersama psikolog dan dokter anak, sharing session dengan ibu yang memiliki anak ‘istimewa’, serta launching buku OASE yang berisi berbagai pengalaman para ibu dalam mengasuh anak-anak dengan kebutuhan khusus. Acara pun makin meriah ketika anak-anak istimewa tampil bernyanyi dan bermain alat musik.
Suatu penyakit dikatakan langka jika tingkat kejadiannya kurang dari 1:2.000 dari populasi total. Berdasarkan informasi yang diperoleh Kementerian Kesehatan Indonesia pada tahun 2017, terdapat enam ribu sampai delapan ribu kasus penyakit langka telah dikenali dan mempengaruhi sekitar 350 juta orang di Indonesia. Sekitar 75 persen dari jumlah total penderita merupakan anak-anak dan 30 persen di antaranya merupakan anak yang berusia di bawah usia lima tahun.
Banyaknya kasus yang terjadi pada anak-anak membuat penyakit langka penting untuk menjadi perhatian banyak pihak, mengingat anak-anak adalah generasi penerus bangsa yang harus diselamatkan. Penerimaan orang tua akan kondisi anak merupakan langkah pertama yang dibutuhkan untuk masa depan anak dengan penyakit langka. Namun sayangnya, penerimaan tersebut bukanlah perkara yang mudah.
Dokter Anak Subspesialis Tumbuh Kembang, dr. Ariani, M. Kes., Sp.A(K) menyampaikan bahwa seringkali akan ditemukan banyak problem pada anak-anak dengan penyakit langka. “Banyak orang tua yang tidak paham tentang kondisi anaknya. Masalah lainnya adalah tidak semua tenaga kesehatan paham tentang penyakit langka. Untuk penegakan diagnosis penyakit langka ini sulit dan mahal,” jelas dr. Ariani.
Lebih lanjut dr. Ariani mengungkapkan bahwa pengobatan definitif hampir 80 persen tidak ada karena 80 persen penyebabnya genetik. Kalaupun ada harganya sangat mahal dan saat ini belum tersedia di Indonesia. Masalah lainnya adalah terkait lingkungan sosial dimana penerimaan keluarga dan masyarakat dan awareness yang kurang mendukung.
“Kalau intuisi kita mengatakan ada yang tidak ‘bener’ dengan anak kita. Lakukan sesuatu (periksa ke dokter). Jangan karena perkataan orang sekitar, kita jadi membatasi gerak untuk segera mencari pertolongan. Cari tahu apa yang terjadi dengan anak kita dan cari saran apa yang harus dilakukan seperti apa. Tidak hanya melulu mencari terapi yang tepat, tetapi bagaimana perawatan yang bisa dilakukan di rumah. Dan harus diingat anak butuh support terutama dari lingkungan terdekatnya, yaitu keluarga,” tuturnya.
Menambahkan, Dokter Anak Subspesialis Infeksi dan Penyakit Tropis, Dr. dr. Irene Ratri Dewi, Sp.A(K), M. Kes. menyampaikan bahwa anak dapat terlahir ‘spesial’ bisa disebabkan oleh infeksi sejak dalam kandungan, kecelakaan genetik. “Kalau kita bicara tumbuh kembang maka ada pengaruh dari luar setelah anak itu lahir, yaitu adalah pola asuh dan nutrisi,” kata dr. Irene.
Dalam kasus developmental delay atau gangguan perkembangan akan dicari pula apakah ada penyakit yang mendasarinya. Selain masalah genetik dan hormonal, ada beberapa penyakit yang berhubungan dengan infeksi selama dalam kandungan yakni Toxoplasma Gondii (Toxo), Rubella, Cyto Megalo Virus (CMV), Herpes Simplex Virus (HSV) (TORCH) yang menyebabkan kelainan perkembangan atau pertumbuhan janin.
“Persiapan kehamilan sangat penting, pastikan jika ada infeksi sudah hilang baru hamil. Kita juga bisa mencegah penularan dari anak-anak yang lahir dengan rubella syndrome misalnya, itu sampai umur satu tahun masih bisa menularkan virus pada orang lain, seperti dari air liur,” pungkasnya.
Sementara itu, Psikolog Klinis Anak, Remaja, dan Keluarga, Amalia Aziz Daeng Matadjo, M.Psi., Psikolog menyampaikan bahwa memiliki anak dengan penyakit langka bagai menjalani sebuah perjalanan yang tidak direncanakan. Kenyataan yang jauh berbeda dari apa yang dibayangkan dan minimnya sumber informasi membuat orang tua sering kali tidak tahu apa yang harus dilakukan.
Kurangnya dukungan dan banyaknya stigma negatif yang melekat membuat orang tua sering kali terjebak dalam keterpurukan. “Tak jarang jika para orang tua ada penolakan. Namun seperti roller coaster, dimana ada penerimaan akan kondisi anak dan orang tua akan berjuang demi merawat anak sebaik-baiknya,” ujarnya.
Dikatakannya, dukungan kepada orang tua anak dengan penyakit langka atau ABK sangat dibutuhkan, agar bisa mendapatkan semangat serta menemukan kembali arah tujuan dalam perjalanannya. “Meningkatkan pengetahuan, kesadaran, dan kepedulian masyarakat terhadap penyakit langka dan ABK juga sangat diperlukan,” pungkasnya. (ari/yon)