Malang, (malangkota.go.id) – Bila berkaca dari kasus sebelumnya, hampir selalu usai libur panjang terjadi lonjakan kasus positif Covid-19. Hal ini mendorong pemerintah melakukan berbagai upaya untuk menekan potensi lonjakan kasus terjadi lagi, seperti memperpendek hari libur/cuti bersama dan membuat kebijakan larangan mudik.
Pada Senin (24/5/2021), tiga pakar kesehatan berbincang membahas isu ini melalui program Dinamika Jawa Timur: Mengantisipasi Lonjakan Kasus Covid-19 Pascalibur Lebaran melalui Radio Suara Sidoarjo.
Ketua Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Jawa Timur, Dr. dr. Sutrisno. Sp. OG (K) mengatakan bahwa virus korona merupakan virus yang sangat cerdas yang bisa bermutasi dari satu manusia satu ke manusia lainnya. Perpindahannya juga spesifik, lewat kerumunan dan pindahnya sangat sederhana, yang paling signifikan adalah lewat saluran napas.
“Jadi kalau ada kerumunan, kita menghembuskan udara dan cairan dropletnya dan di situ ada virusnya, lalu pas tidak pakai masker berarti itu menghamburkan virus itu kemana-mana maka orang lain akan tertular,” lanjutnya.
Indonesia mempunyai tradisi ‘ngumpul-ngumpul’ yang sukar untuk dihilangkan. Walau sudah diberlakukan larangan mudik Lebaran, ternyata banyak masyarakat yang tetap ‘memaksa’ untuk bisa pulang kampung dengan berbagai cara.
“Dari sisi kesehatan memang tidak peduli itu mudik atau bukan, selama orang itu berkerumun apapun motifnya itu potensi untuk menularkan. Berdasarkan laporan terakhir walau sifatnya sementara karena belum ada data valid disebutkan bahwa angka Covid-19 naik,” ujarnya.
Yang naik tajam adalah yang membutuhkan ICU, artinya angka naik dengan gejala yang berat. Yang tidak berat akan bertahan di rumah atau mungkin bertahan untuk tidak dirasakan. Begitu sudah down dan masuk dalam kategori advance atau berat, maka akan membutuhkan high care sampai instensive care. Sehingga saat ini justru ICU yang tidak sebanyak ruang biasa menjadi primadona.
“Namun kita tunggu waktu dan data dari rumah sakit dan kementerian kesehatan, agar statement ini bisa diverifikasi dengan angka,” papar dokter spesialis kandungan ini.
Saat ini ada 394 rumah sakit dengan jumlah tempat tidur sekitar 45.000. Selain itu juga ada Rumah Sakit Lapangan yang dikembangkan oleh pemerintah daerah untuk menampung kasus-kasus orang tanpa gejala (OTG), kasus ringan, ataupun kasus sedang di mana pasiennya masih bisa beraktivitas secara mandiri. “Namun yang perlu dikhawatirkan adalah ICU dengan ventilator yang sangat terbatas sedangkan pengadaan ventilator juga complicated, mahal, dan butuh tenaga yang kompeten juga,” kata Dr. Sutrisno.
Sementara itu, Dr. Ni Made Sukartini, SE., M. Si, Perintis Prodi Magister Ekonomi Kesehatan Sekolah Pascasarjana Unair mengungkapkan, berdasarkan data-data ada indikasi mulai munculnya kasus baru terutama karena adanya beragam aktivitas masyarakat dan kepulangan tenaga migran dari luar negeri juga berpotensi menjadi media penularan varian baru.
“Dari sisi ekonomi kesehatan kita sadar dampak sangat tinggi. Sebagian pekerja harus dirumahkan karena mengantisipasi cepatnya penyebaran, pabrik-pabrik tutup, industri pariwisata hancur, kita sadari bersama bahwa dampak ekonominya nyata,” urai Dr. Made.
Dr. Made juga mengingatkan bahwa bahaya ini bukan untuk diri sendiri namun bisa berdampak secara nasional, perekonomian akan terganggu, potensi sumber daya manusia tidak bisa dioptimalkan, tentu menyebabkan negara membutuhkan anggaran lebih untuk menyelesaikan pandemi ini.
Terkait mutasi varian baru dari Covid-19 ini, Prof. Dr. Theresia Indah Budhy S., drg, M. Kes KPS Imunologi Sekolah Pascasarjana Unair menyebutkan bahwa virus ini bisa merusak RNA dan DNA yang sifatnya mudah berubah. “Kalau tubuh kita tidak baik, maka virus dalam tubuh juga akan mengalami perubahan juga. Inilah yang menimbulkan masalah,” katanya.
Kalau kemarin virusnya jenis A misalnya, kemudian karena virus sudah masuk cell host dan dipengaruhi oleh perilaku, gaya hidup, demografi, lingkungan, virus ini bisa bermutasi menjadi varian baru dengan gejala baru dan sifat baru lagi.
Prof. Theresia menyatakan bahwa masyarakat sekarang sudah mulai menganggap seolah-olah virus sudah tidak ada atau merasa sudah kebal karena sudah divaksin. Padahal sifatnya spesifik untuk virus tertentu, sehingga tidak akan berdampak untuk varian virus lainnya. Yang perlu ditingkatkan adalah menjaga sistem imun alami, dengan menjaga gaya hidup sehat, pola makan baik, dan tidur cukup, serta diimbangi dengan kepatuhan melakukan protokol kesehatan.
Varian ini juga sudah masuk ke Jawa Timur. Masyarakat harus diberi sosialisasi bahwa kini ada varian baru yang lebih berbahaya dan bisa langsung masuk ke paru. “Kalau paru yang kena ya pasti lebih berbahaya jika dibandingkan masuk melalui mukosa hidung yang punya masa inkubasi lebih lama. Kelihatannya varian ini masa inkubasinya lebih cepat dan vaksinnya belum ada,” lanjutnya.
Dr. Sutrisno menambahkan ionformasi bahwa sudah ada 18 kasus varian baru, yang masuk dari orang-orang yang baru melakukan perjalanan dari luar negeri. “Pandemi ini selesai atau tidak selesai tergantung pada masyarakat. Kalau kita ingin selesai maka tolong patuhi protokol kesehatan,” pungkas Dr. Sutrisno.
Hingga kini pandangan masyarakat juga masih terbelah dua, karena banyak juga diantaranya yang lebih percaya terhadap informasi-informasi hoaks yang beredar sehingga prinsip-prinsip keilmuan. Padahal, sejarah mengatakan bahwa ilmu pengetahuan telah menyelamatkan peradaban. Salah satu referensi yang bisa dibaca terkait Covid-19 bisa didapatkan melalui beberapa e-book yang bisa didownload secara gratis melalui website IDI Jawa Timur. (ari/ram)