Klojen (malangkota.go.id) – Kota Malang menjadi salah satu wilayah yang tak luput dari sejarah pendudukan Belanda. Tak mengherankan banyak dijumpai bangunan-bangunan kuno berarsitektur kolonial di beberapa titik kota yang disebut Paris Van East Java ini.
Salah satunya adalah bangunan Toko Oen, yang kala itu menjadi jujugan orang Belanda untuk ‘nongkrong’ menikmati waktu senggang bersama keluarga dan rekan. Dulu, orang Belanda di Kota Malang tak hanya tinggal di pusat kota, namun banyak juga yang tinggal di pedesaan dan perkebunan. Bahkan orang Belanda yang tinggal di Blitar dan Pasuruan juga kerap datang berkumpul di Toko Oen. Tak sekadar untuk makan dan minum, orang Belanda kala itu juga kerap berdansa karena Toko Oen kala itu memiliki tempat khusus berbentuk busur yang memang digunakan sebagai tempat berdansa. Bahkan mereka pun menjadikan Toko Oen sebagai venue pernikahan.
Berada di pusat kota, dekat dengan Alun-Alun Kota Malang yang saat ini dikenal dengan Jalan Jenderal Basuki Rahmat Nomor 5 Malang, keberadaan Toko Oen sangat mudah dicari. Gedung terlihat mencolok karena gaya arsitekturnya dan berada di seberang pusat perbelanjaan legendaris ‘Sarinah’ dan Gereja Hati Kudus Yesus atau Gereja Kayutangan yang juga menjadi ikon kota karena gaya arsitektur neogothic.
Begitu memasuki Toko Oen, kita serasa dibawa kembali ke masa lampau. Sebuah tulisan selamat datang berbahasa Belanda terpampang jelas di dalam toko. ‘Welkom in Malang Toko Oen Die Sinds 1930 Aan de Gasten Gezzeligheid’ yang artinya Selamat Datang di Toko Oen Malang yang Memberikan Kegembiraan bagi Para Tamu Sejak Tahun 1930. Dari tulisan itu kita tahu bahwa toko ini telah berdiri tahun 1930-an.
Walau hampir berusia seabad, bangunan ini tetap mempertahankan bentuk aslinya. Kalaupun ada rehabilitasi, itu sebatas pengecatan dan perbaikan bagian gedung yang bocor atau rusak. Demikian juga interior dengan perabot klasik masih dipertahankan. Inilah yang menjadi daya tarik bagi pengunjung dan turis mancanegara, khususnya dari Belanda.
Ansori, seorang tourist informan yang telah puluhan tahun bekerja di Toko Oen menyampaikan bahwa ‘Oen’ adalah nama famili. Toko Oen sebenarnya ada empat di Indonesia, yakni di Semarang, Malang, Jakarta, dan Surabaya, namun yang bertahan hingga saat ini hanya dua, yakni Malang dan Semarang. “Keduanya menjadi cagar budaya. Dan semuanya ini masih orisinil, mulai dari lantai, plafon baja. Jadi memang selain restoran, toko ini juga cagar budaya. Jadi ini tidak hanya restoran dan toko makanan Belanda, Toko Oen juga tidak meninggalkan estetika ke-Jawa-annya ya, artinya kue-kue tradisional dulu juga masih ada di sini,” ungkap pria yang menjadi bagian dari Toko Oen sejak tahun 1994 itu.
Sebagai toko dan restoran, Toko Oen menyajikan berbagai hidangan khas Belanda dan juga makanan lokal khas Indonesia. Di etalase tampak tersaji garnalen brood, kippen brood, dan socijs brood, selain itu juga ada kue tradisional favorit turis Belanda seperti cucur dan lapis legit. Ansori menuturkan hidangan khas Toko Oen adalah steak, roti, dan ice cream. Toko Oen ini menyediakan dua jenis meja dan kursi. Meja dan kursi tinggi digunakan kala menyantap main course. Sementara meja dan kursi yang lebih pendek dengan sandaran punggung dan tangan kerap digunakan saat menikmati kopi, teh, makanan ringan, atau dessert lainnya. Sembari diiringi lagu-lagu nostalgia, pengunjung dapat menikmati makanan dan minuman dengan nyaman.
Para turis yang datang ke tanah Jawa ini memang tidak hanya untuk berlibur, tapi juga sekaligus untuk nostalgia. Mereka akan bercerita ke anak cucunya bahwa pernah tinggal atau lahir. Malang pun menjadi salah satu destinasi utama di Jawa Timur yang harus dikunjungi oleh orang Belanda khususnya.
“Bahkan di semua biro perjalanan di Belanda, Toko Oen itu sudah dimasukan dalam paket wisata Jawa Bali, nama kami itu juga ada di guide book perjalanan wisata. Jadi kalau mereka ke Malang pasti ke Toko Oen. Kini, tak lagi hanya orang Belanda yang datang ke sini, tapi hampir semua turis yang berasal dari Eropa juga datang ke sini. Bahkan ada statement kalau tidak ke Toko Oen, berarti tidak ke Kota Malang. Walau tidak makan di sini, kadang mereka datang untuk berfoto-foto, ya karena nilai historisnya,” terang pramuwisata senior ini. (ari/yon)