Berita Ekonomi Kreatif

Menelusuri Jejak Perkembangan Perbioskopan di Kota Malang

Kota Malang (malangkota.go.id) – Film menjadi salah satu hiburan populer di dunia. Film mampu membawa kita ke dunia yang berbeda, memainkan emosi, dan membangkitkan imajinasi. Awalnya, film hanya berupa tayangan bisu tanpa suara, sang aktor dan aktris menyampaikan cerita hanya lewat mimik wajah dan gestur tubuh. Seiring berkembangnya zaman dan teknologi, film tampil lebih apik, bersuara, berwarna bahkan kini diproduksi menggunakan teknologi komputer dan efek visual canggih.

Salah satu koleksi alat yang terpajang di Bioskop Mopic

Bicara tentang film tentu erat kaitannya dengan bioskop, yang merupakan salah satu saluran utama untuk menikmati karya seni audio visual yang tak hanya menghibur, namun juga sebagai sarana edukasi ini. Bioskop pertama di Indonesia lahir pada 5 Desember 1900, berlokasi di Batavia (sekarang Jakarta) tepatnya di Tanah Abang. Kemudian, bioskop-bioskop lainnya mulai bermunculan di kota-kota besar lainnya, termasuk di Kota Malang.

Dilansir dari berbagai sumber, usaha bioskop di Kota Malang telah dimulai sejak tahun 1924 dengan berdirinya Bioskop Flora. Pada 1937 juga dibangun Bioskop Atrium atau Atrium Theater. Selain itu, juga dikenal beberapa bioskop lain seperti Bioskop Rex yang berubah nama menjadi Bioskop Ria di Jalan Merdeka Timur. Ada juga Roxy Theater terletak di Kayutangan yang kemudian berganti nama menjadi Bioskop Merdeka. Kala itu juga dikenal Bioskop Kelud dengan konsep misbar (gerimis bubar) atau layar tancap.

Seiring perubahan zaman, kondisi politik dan ekonomi pun mempengaruhi eksistensi bioskop-bioskop lawas itu. Kini, bioskop dengan konsep sinema kompleks yang terdiri dari beberapa layar bioskop dalam satu bangunan serta dilengkapi dengan fasilitas pendukung lainnya atau yang dikenal dengan cineplex meramaikan dunia hiburan di Kota Malang.

Perkembangan bioskop di Kota Malang juga tak lepas dari kiprah Djojosepoetro bersaudara. Memulai bisnis bioskop karena kondisi ekonomi sepeninggal sang ayah di kurun waktu sekitar tahun 1979. Akhirnya, Soetiono Djojosepoetro sebagai anak pertama terpaksa meninggalkan studinya di Akademi Militer Nasional (AMN) dan mencoba peruntungan dalam bisnis film yakni bioskop. Dukungan seorang temannya makin menguatkan tekad dan optimismenya untu terjun dalam bisnis ini. Soetiono bahkan menggadaikan sertifikat rumahnya di Lumajang senilai Rp15 juta dan tidak ragu untuk menggunakan Rp10 juta untuk menyewa film ‘Inem Pelayan Sexy’ dari Metropolitan Film dengan masa kontrak dua tahun.

“Kita dapat uang Rp15 juta, tapi beli filmnya Rp10 juta untuk masa edar dua tahun. Berhasil atau enggak, ya risiko. Ternyata Tuhan punya kehendak, film ini booming. Ya lumayan juga uang yang kita terima. Saat itu harga tiket kalau tidak salah sekitar dua ribu rupiah, dan saat itu kapasitas satu hal gedung bioskop antara 500-600 orang. Berkat film ini, kami bisa kembali modal bahkan lebih. Sertifikat rumah kami tebus,” cerita Rudianto Djojosepoetro, adik Soetiono Djojosepoetro kala ditemui di Bioskop Mopic, Rabu (19/3/2025).

Berawal di Lumajang, keluarga ini mengepakkan sayap bisnisnya ke Kota Malang dan beberapa wilayah lainnya di Jawa Timur. Bioskop pertama di Kota Malang yang dikelola adalah Malang Theater yang dirintis sekitar tahun 1981. “Waktu itu kakak saya sewa gedung yang saat ini jadi BTN. Lalu ada juga Mulia yang lokasinya di depan Kelenteng Eng An Kiong. Terus ada Ria, itu juga kita kontrak. Film Inem juga kita tayangkan di sana dan ramai terus. Sama Metro kita juga ditawari film Rhoma Irama Berkelana I seharga lima juta rupiah, kita ambil. Ternyata film ini juga sukses, booming lagi,” ungkap pria yang sudah terjun dalam dunia bioskop semenjak masa remaja ini.

Keluarga ini pun terus mengembangkan bisnisnya dengan mendirikan bioskop lain di Kota Malang, seperti adalah Dinoyo Theater dengan dua hal, Mutiara di Jalan Trunojoyo, Presiden di Sarinah, juga ada di Kayutangan, Blimbing, dan Sukun. Tak hanya di gedung, Djojosepoetro juga mengembangkan layar tancap atau misbar di beberapa titik di Kota Malang. Kesuksesan ini membuat Soetiono Djojosepoetro mulai dikenal. “Saat itu Bioskop 21 mau masuk ke Malang, digandenglah sama kakak saya. Kala itu di sekitar alun-alun ada beberapa pilihan gedung yaitu di Mitra, Gajah Mada Plaza, atau Malang Plaza. Akhirnya, pilihan jatuh di Malang Plaza dan bioskop 21 ada di Kota Malang pada tahun 1986-an dan diresmikan Gubernur Soelarso,” kenangnya.

Di era tersebut, film-film Indonesia dan Mandarin mendominasi industri bioskop di Tanah Air. Selain dua film yang disebut sebelumnya, kala itu film Indonesia yang juga sedang booming adalah Kabut Sutra Ungu yang diperankan Roy Marten dan Yenny Rahman serta Roman Picisan dengan bintang Rano Karno dan Lydia Kandou. Bahkan banyak artis-artis tenar juga sempat berkunjung ke bioskop-bioskop yang ada di Malang.

Seiring berjalannya waktu, pilihan film semakin banyak, mulai genre drama, komedi, aksi, animasi, horor, romantis, dokumenter, keluarga, persahabatan, petualangan, thriller, misteri, biografi, musikal, fantasi, noir, hingga fiksi ilmiah. Bioskop tak hanya menjajakan film namun juga menjual fasilitas. Makin berkembangnya bisnis bioskop ini pun menjadi pertanda bahwa film memiliki tempat di hati masyarakat, termasuk di Kota Malang.

“Kalau dulu penonton kebanyakan dari keluarga, orang kantoran, anak muda ya ada tapi jarang. Waktu itu kita kasih diskon 50 persen khusus untuk pelajar, jadi pakai kartu pelajar. Ada jam khusus. Nah kalau sekarang, lebih banyak anak muda, anak SMA dan mahasiswa. Sekarang itu film yang favorit itu horor dan komedi, juga super hero,” terangnya.

Bahkan di tengah munculnya platform online untuk menonton film, Rudi tak menganggapnya sebagai hambatan. Menurutnya, bioskop akan tetap memiliki penggemarnya sendiri. Karena faktanya, film baru pun tentu tidak bisa langsung tayang di platform itu. “Orang-orang akan tetap ke bioskop. Gak semua film layar lebar bisa tayang di platform online, apalagi film-film favorit. Kalaupun ada itu pasti jedanya lama sekali, ” kata Rudi.

Puluhan tahun bergelut dalam film, Rudi berharap film-film Indonesia tetap bisa berjaya. “Semoga film Indonesia bisa tetap eksis bisa jadi tuan rumah di negara sendiri. Dan saat ini film-film Indonesia ini juga sedang naik daun, banyak digemari. Semoga produksi makin banyak. Makin banyak film, makin banyak gedung. Dalam satu minggu, biasanya bisa muncul tiga judul film Indonesia baru,” harap Rudi.

Walau sempat jatuh bangun, bioskop terus berkembang dengan mengikuti perubahan teknologi dan menyesuaikan keinginan pasar. Era rol film beralih ke digital, bahkan kini memanfaatkan teknologi laser. Bisnis bioskop keluarga Djojosepoetro pun mengalami ketiga era tersebut. Bahkan di Bioskop Mopic yang berada di kawasan Suhat dan kini dikelola oleh anak Rudi, yakni Rulya Febrina ini juga memiliki spot bak sebuah museum. Gulungan film, spiral rol film, lampu, lensa, hingga mesin proyektor jadul yang terpajang seakan membawa pengunjung masuk dalam era industri bioskop lawas.

“Kami ingin ajak masyarakat ingat lagi sejarah dulu sebelum era sekarang dengan film yang dikemas begitu praktis. Ini juga mengingatkan saya zaman dulu, saya juga sempat muter balik rol film untuk bisa diputar lagi. Manual-manual ini antiknya dapat, entertain seperti ini juga ingin kita kembangkan lebih lagi di sini. Jadi orang bisa ke sini sambil nostalgia,” pungkas Rulya. (ari/yn)

Leave a Comment

Your email address will not be published.

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

You may also like

Skip to content