Artikel Ekonomi dan Bisnis UMKM

Astakarya Pancawiguna, Sulap Bahan Bekas Jadi Kerajinan Tangan Estetik

Malang, (malangkota.go.id) – Di tangan kreatif Syamsul Subakri, pemilik workshop Astakarya Pancawiguna bahan bekas seperti botol kaca disulap menjadi kerajinan tangan estetik bernilai seni.

Syamsul Subakri memberikan pelatiahan kepada anak-anak

Beberapa dari sekian banyak produknya, antara lain ukiran pada botol kaca, lampu damar kambang, genta angin. Tidak hanya itu, di antara karya-karyanya yang estetik juga terdapat aquascape atau akuarium mini, terrarium, vas bunga hydroponic, serta wayang Puspasarira dari mendong. Selain berbagai karya dari botol kaca dan ada gambar wajah dengan media kertas dan pensil yang dikenal dengan sebutan face drawing.

“Ide berawal dari keinginan kami mengelola sampah dengan memperpendek jejak karbon. Yang artinya membuat barang baru dari bahan bekas tanpa menggunakan mesin atau alat yang membutuhkan banyak bahan bakar atau energi listrik,” papar Syamsul yang akrab disapa dengan Pak Kardjo, Kamis (23/6/2022).

Lebih lanjut Pak Kadjo mengungkapkan, selain untuk meningkatkan pendapatan melalui workshopnya ia ingin memberikan kontribusi yang positif untuk lingkungan. Keunggulan produknya yang juga membedakan dengan yang lain yakni setiap karya memiliki ciri ‘siji thok’. Di mana artinya setiap konsumen tidak akan mendapatkan dua atau lebih produk barang yang sama persis.

“Kebanyakan pembeli masih dari kalangan teman meskipun ada beberapa transaksi sampai keluar negeri. Biasanya pembeli langsung ke lokasi kami, Jl. Mayjen Haryono Gang Brawijaya 2 Nomor 63A Malang. Dalam beberapa kesempatan kami mengikuti berbagai lomba seperti lomba suvenir baik tingkat lokal bahkan Asia,” tambah Pak Karjo.

Untuk pengerjaan ukiran pada botol beling atau kaca, Pak Karjo menyampaikan butuh waktu 4-5 jam dari bahan mentah hingga finishing. Salah satu karya Astakarya Pancawiguna yang unik adalah boneka wayang Puspasarira. Boneka wayang Puspasarira didesain untuk pertunjukan wayang atau bayang-bayang.

“Nama Puspasarira saya ambil dari ornamen yang digunakan oleh masyarakat suku Tengger di kawasan Gunung Bromo yang memiliki arti ‘badan yang tersusun dari bunga’. Ciri khasnya adalah dari bahan dan teknik pembuatannya yang khas, yaitu terbuat dari bahan mendong berikut bunganya. Dengan jumlah tertentu ,3-5-7 atau 9 batang menyesuaikan karakter tokoh yang akan dibuat. Jumlah tersebut memiliki arti tertentu,” jelasnya.

Ia menambahkan, pembuatan boneka memerlukan waktu antara 20 hingga 30 menit dengan tahapan yang tertentu. Sehingga bisa sekalian dinarasikan arti dari bagian tubuh boneka yang sedang dikerjakan. Pengerjaannya diawali dari pembuatan hidung dan diakhiri pembuatan bagian kaki. Inilah yang membedakannya dengan wayang yang lainnya bahkan dengan model wayang suket yang sudah dikenal luas.

“Puspasarira sendiri sebenarnya relatif baru kami kembangkan sejak tahun 2012 berdasarkan pengalaman dibidang story telling dengan menggunakan berbagai macam bahan baku. Kegiatan story telling atau mendongeng sudah saya awali dari tahun 1998. Untuk pembuatan wayang Puspasarira, saya tidak menggunakan alat khusus dan tanpa bahan preservatif karena dalam kondisi kering boneka tersebut bisa bertahan sampai 5 tahun,” papar Pak Kardjo.

Ia pun memberikan nama khusus untuk setiap karakter menyesuaikan dengan pemesannya sebagai semacam motivator. Nama-nama tersebut diambil dari khazanah Jawa kuno . Sedangkan, untuk materi cerita atau pertunjukan kebanyakan diambil dari cerita rakyat dan tema-tema sosial yang kekinian. Melalui karya-karyanya, ia berharap bisa bangkit kembali setelah pandemi. (eka/ram)

Leave a Comment

Your email address will not be published.

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

You may also like

Skip to content