Malang, (malangkota.go.id) – Kondusivitas Kota Malang sebagai miniatur nusantara senantiasa terjaga di tengah keragaman dan komitmen nyata pembangunan inklusif.
Hal ini tersebut disampaikan Kepala Badan Kesatuan Bangsa dan Politik Kota Malang Dra. Rinawati, MM saat menjadi pemateri dalam kegiatan webinar dengan tema ‘Pengarusutamaan Tata Kelola Pemerintahan Inklusif dan Dampaknya bagi Penguatan Keberagaman di Daerah’ yang diselenggarakan oleh SETARA Institute melalui zoom, Rabu (13/4/2022).
Kota Malang secara umum sebagai kota yang majemuk dan sarat potensi sumber daya manusia memiliki keragaman, baik budaya, keyakinan, dan politik. Keragaman senantiasa dipandang sebagai kekayaan dan menjadi komitmen pembangunan Kota Malang.
Menurutnya, dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJMD) Kota Malang 2018-2023, visi Kota Malang adalah Kota Malang Bermartabat. Untuk mewujudkan misi yang ketiga, yaitu kota yang rukun dan toleran berasaskan keberagaman dan keberpihakan masyarakat rentan dan gender.
“Keberagaman ini sudah ada sejak dahulu di Kota Malang. Keragaman budaya lahir di antaranya dari karakteristik sebagai kota pendidikan. Di mana ada 57 kampus dan 300 ribu mahasiswa dari berbagai daerah di Indonesia, bahkan mancanegara,” kata Rinawati.
Keragaman juga lahir dari karakteristik sebagai pusat perdagangan jasa Malang Raya, banyak pendatang dan pekerja. Keragaman demografis dari sisi agama dan kepercayaan, ada berbagai tempat ibadah di Kota Malang. Termasuk sebagian telah menjadi bangunan cagar budaya yang dilestarikan keberadaannya tidak hanya sebagai tempat ibadah tapi aset sejarah kota.
Menurut data, kata dia, pemeluk agama Islam ada 843.231 jiwa, Kristen Protestan 52.284 jiwa, Katolik 34.439 jiwa, Hindu 1.527 Jiwa, Budha 4.585 jiwa, Konghucu 147 jiwa, dan Penghayat Kepercayaan 101 jiwa. Meski demikian, sambungya, tantangan terhadap kondusivitas dan keragaman terus berkembang seiring dinamika geopolitik, perkembangan digital dan cepatnya arus informasi, dinamika jelang tahun politik, serta sejumlah faktor lain.
“Meningkatnya pemanfaatan teknologi informasi belum dibarengi penguatan literasi di Indonesia. Kita kumpul, namun pikiran tidak kumpul. Kemajuan teknologi dan keterbukaan akses informasi memberikan peluang penyebaran paham radikalisme, berita hoaks atau kejadian yang berpotensi menimbulkan konflik dengan kecepatan dan cara-cara yang tidak diprediksi sebelumnya,” jelas Rina.
Lebih lanjut ia menyampaikan, mengelola keberagaman menuju Malang Kota Inklusif terus dilakukan lewat sejumlah langkah nyata. Seperti penguatan kelembagaan seperti Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB), Forum Kewaspadaan Dini Masyarakat (FKDM), Forum Pembauran Kebangsaan (FPK), Forum Koordinasi Pimpinan Daerah (Forkopimda), dan Gerakan Nasional Revolusi Mental (GNRM).
“Kemudian partisipasi pembangunan lewat inovasi musrenbang tematik anak, lansia, disabilitas, perempuan dan pemuda telah menghasilkan ratusan program prokelompok rentan yang terealisasi dalam empat tahun terakhir,” pungkasnya. (eka/ram)