Malang (malangkota.go.id) – Orang-orang di sekitar wilayahnya mengenal ‘Pak Rahmat’. Dia tergelak, tulus, memamerkan beberapa pasang gigi yang tersisa dan kumis serta jenggot yang telah memutih, ketika mengingat kisah cintanya dengan kembang desa yang kemudian menjadi pendamping setianya bertani sekaligus ibu dari ketiga anaknya.
Di usianya yang sudah menapaki akhir 60-an tahun, fisiknya masih terlihat sehat walau keriput di wajahnya tak bisa disembunyikan. Barangkali memang tak pernah disembunyikan dengan beragam krim anti aging dan bermacam perawatannya. Hamparan padi yang menguning dan sedang dipanen oleh beberapa pekerja itulah obat awet mudanya.
Sudah 20 tahun lebih, Pak Mat, demikian ia akrab disapa, mengolah lahan seluas kurang lebih empat hektar miliknya di Tasikmadu. Sebuah kelurahan yang terus berkembang sebagai salah satu area peri-urban di sudut utara Kota Malang. Pengalamannya yang luas menjadikannya didapuk sebagai Ketua Kelompok Tani Sri Setia Kawan.
“Winginane niku kresek, lintune nggih manuk kalih tikus (kemarin itu ada serangan penyakit ‘kresek.’ Lainnya ya hama burung dan tikus),” kata Pak Mat mengungkapkan salah satu kendala utama yang dihadapinya saat ini, Sabtu (19/6/2021).
Soal alat pertanian tidak menjadi masalah, karena menurutnya bantuan Pemerintah Kota Malang sering hadir. Masalah lain menurutnya adalah faktor kesulitan mencari pekerja tani, terutama anak muda dan ‘godaan’ menjual lahan pertanian. Sehingga petani beralih profesi dan sawah beralih fungsi.
“Nggih kathah ingkang tanglet (ya memang banyak yang menanyakan),” ungkap Pak Mat tentang godaan dari beberapa pengembang yang sempat ingin membeli sawahnya dengan iming-iming kompensasi finansial dalam jumlah cukup besar.
Harga lahan di sekitar sawahnya memang sudah menyentuh Rp3-4 juta per meter persegi. Sampai detik ini, kecintaannya pada pertanian masih meneguhkan hatinya untuk berkata tidak. Tapi ia tak memungkiri, di usianya yang menatap senja, masa depan sawahnya adalah sesuatu yang tak bisa ia perkirakan.
Penuturan Pak Mat adalah secuil kisah tentang dinamika petani dan pertanian di kawasan perkotaan yang harus berhadapan. Tidak hanya dengan urbanisasi yang memicu kepadatan dan permintaan pasar hunian. Namun juga kecenderungan orientasi pada sektor ekonomi sekunder dan tersier.
Hasil kajian mengindikasikan sejumlah faktor penyebab alih fungsi lahan pertanian di Jawa Timur meliputi tiga faktor, yakni produksi, pendapatan, dan demografi (Firmansyah, 2021). Sebagai refleksi bersama, data Badan Pusat Statistik (BPS) Kota Malang tiga tahun silam menunjuk angka luas lahan sawah mencapai 1.104 ha, sementara pada akhir tahun 2020 turun menjadi 995 ha.
Walaupun demikian, tidak semua indikasi memudarkan harapan. Melalui kerja keras dan kerja cerdas berbagai pemangku kepentingan, produktivitas padi Kota Malang secara komparatif menyentuh angka tertinggi se-Jawa Timur pada tahun 2019, yakni mencapai 68,88 kw/ha.
“Dukungan alat produksi pertanian (alsintan), ketersediaan jaringan irigasi teknis dan kontinuitas air yang disediakannya, pemilihan varietas padi yang tepat, hingga komunikasi yang harmonis antarpemangku kepentingan menjadi beberapa kiat kesuksesan,” tutur Pak Mat.
Pada tataran kebijakan daerah, Pemerintah Kota Malang terus berupaya menjaga pertanian dan ketahanan pangan. Di antaranya dengan Penetapan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (LP2B) dalam Peraturan Daerah (Perda) tentang Rencana Detil Tata Ruang dan Peraturan Zonasi (RDTR dan PZ) dan penyiapan rancangan peraturan daerah (Ranperda) yang secara spesifik akan mengatur perlindungan lahan pertanian sebagai turunan dari Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan.
Hingga kini sebanyak 23,49 ha telah ditetapkan dan saat ini sedang dibahas bersama upaya memperluas cakupan perlindungan tersebut. Fokus utama adalah upaya penguatan pengendalian yang melibatkan tim terpadu lintas kementerian/perangkat daerah sebagaimana spirit Peraturan Presiden Nomor 59 Tahun 2019 tentang Pengendalian Alih Fungsi Lahan Sawah (AFLS).
Di sisi lain, peran serta PKK, Bank Indonesia, serta geliat urban farming yang makin bangkit di tengah ruang-ruang sempit Kota Malang. Hal itu seiring menguatnya kesadaran pentingnya asupan gizi di masa pandemi, adalah sebuah modal sosial penting bagi pertanian yang acapkali terpinggirkan.
Inovasi memang kata kunci di era disrupsi. Karenanya, pembelajaran kisah sukses dari sejumlah daerah tentang ‘tumpang sari’ pertanian dengan pariwisata, bahkan jasa kuliner pun menjadi referensi bagi pelaku pertanian di Kota Malang. Melimpahnya jurusan pertanian di berbagai kampus di Kota Malang menumbuhkan optimisme tersendiri, bahwa akan ada aliran inovasi teknologi sekaligus sumber daya manusia, anak-anak muda dengan bahu segar untuk bersandar, soko guru ketahanan pangan bangsa, bahkan di perkotaan sekalipun.
Bagi Pak Mat, sandaran bahunya adalah Surya. Anak keduanya yang sejak lulus sekolah kejuruan hingga turut membantunya bertani menjadi harapan terbesarnya untuk menjaga kelestarian pertaniannya. Sehingga asa menjaga trah petani keluarganya tetap berlanjut dengan goresan kisah baru. Tentang semilir angin di gubuk tengah sawah dan tentang hijaunya Indonesia yang maju, mandiri dan berdaulat pangan. (ndu/ram)