Lowokwaru (malangkota.go.id) – Ecoprint merupakan salah satu jenis teknik mencetak pada kain dengan menggunakan pewarna alami yang dapat dijadikan alternatif untuk mengurangi kerusakan lingkungan serta ekosistem akibat limbah kimia pabrik tekstil. Teknik itu pula yang digunakan oleh Dosen Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) Dr. Ir. Wehandaka Pancapalaga, M.Kes.
Ia bersama lima mahasiswa Fakultas Pertanian Pertenakan (FPP) mengembangkan ecoprint dengan memanfaatkan mangrove/bakau. Menariknya, mereka bisa menciptakan berbagai produk seperti tas, pakaian, hingga sepatu dari teknik pewarnaan ini.
Ide tersebut muncul pada tahun 2019 yakni saat menguji coba penelitian yang sudah dilakukan. Mangrove dinilai bisa dijadikan zat pewarna alami untuk ecoprint. Penelitian yang dilakukan sangat rinci, mulai dari pemilihan bahan hingga proses produksi. Hal itu berefek pada produk yang bagus dan bermanfaat bagi masyarakat.
Wehandaka, demikian sapaan akrabnya, menjelaskan bahwa hasil dari ekstrak mangrove tidak mudah luntur, sehingga bagus untuk pewarna. Adapun sistem yang digunakan melalui mesin pengukus atau steam yang yang tingkat panasnya lebih terjamin, warna yang dihasilkan juga lebih merata.
“Suhu yang kami gunakan ada pada rentang 75 derajat dan dikukus selama dua jam. Apabila suhu yang digunakan terlalu tinggi, kulit yang digunakan untuk ecoprint akan rusak. Sementara kalau suhunya terlalu rendah, warna daun dan bunga tidak akan bsia melekat pada kulit,” jelasnya, Sabtu (10/6/2023).
Wehandaka mengatakan bahwa pihaknya sangat serius mendalami penelitian. Termasuk mengenai pemilihan jenis mordan. Sudah sudah mencoba berbagai cara, mulai dari mordan tawas, kapur, dan tunjung.
Hasilnya, mordan tawas memberikan hasil yang lebih maksimal dan cocok dengan bahan alami yang digunakan. Sementara, kulit yang digunakan untuk teknik ini adalah kulit domba samak jenis crust. Pemilihan ini tak lepas dari kelebihannya yang lebih lentur dan tidak mudah luntur.
“Penelitian ecoprint kami ini sedang proses didaftarkan untuk paten sederhana. Namun sembari menunggu, kami juga mengabadikannya dalam beberapa event seperti program matching fund bersama UMKM Bululawang Malang.
Hasilnya, masyarakat sangat antusias untuk memproduksi ecoprint tersebut karena di Desa Bululawang banyak pengrajin kulit yang masih monoton menggunakan warna hitam polos,” tandasnya.
Wehandaka bersama tim berharap agar penelitian mengenai ecoprint dapat diterima baik oleh masyarakat. Mereka memiliki tujuan untuk membantu pengrajin kulit agar bisa lebih kreatif. Utamanya dalam hal warna, teknik, dan cara yang elbih ramah lingkungan.
“Untuk selanjutnya, saya sedang mencoba mengombinasi antara ecoprint dan ukiran agar hasil akhirnya akan seperti daun yang nampak timbul, sehingga makin terlihat menarik dan bagus,” pungkas Wehandaka. (say/yon)