Setelah Tohjaya naik tahta menjadi Raja Tumapel, ambisinya untuk melanggengkan kekuasaan semakin menjadi -jadi. Ditambah hasutan dari Pranaraja, Tohjaya bernafsu untuk menghabisi Ranggawuni dan Mahisa Campaka. Ranggawuni adalah putra dari Anusapati yang dikudeta dan dibunuh oleh Tohjaya. Sehingga, Tohjaya takut suatu saat Ranggawuni menuntut balas atas kematian ayahnya.
Sedangkan Mahisa Campaka, dianggap sangat berbahaya dan mengancam tahta Tohjaya karena Mahisa Campaka adalah putra Mahisa Wong Atleng, yang merupakan putra dari Ken Arok, pendiri Kerajaan Tumapel (kemudian lebih dikenal Singhasari). Jadi, Mahisa Campaka ini adalah cucu dari Ken Arok.
Ambisi kekuasaan Tohjaya, dengan keinginan besarnya untuk menghabisi Mahisa Campaka dan Ranggawuni, membuat masa kepemerintahan Kerajaan Tumapel penuh dengan intrik dan konflik menegangkan. Tohjaya yang mudah dihasut oleh para pembantunya, terutama Pranaraja, menjadi semakin paranoid, kejam dan bengis. Menjadikan Kerajaan Tumapel di masa kepemimpinnya, semakin penuh pergolakan, konflik dan pemberontakan. Akan tetapi usaha Tohjaya untuk membunuh Mahisa Campaka dan Ranggawuni, banyak menemui halangan yang berujung kegagalan. Mereka berdua justru semakin banyak mendapat dukungan dari tentara Kerajaan Tumapel yang tidak puas dengan kepemimpinan Tohjaya.
Mahisa Campaka mendapatkan dukungan dari Bala Tentara Bantengan, yang dulu pernah dipimpin ayahnya, Mahisa Wong Atleng. Juga dari Bala Tentara pengawal Ibunya, Putri Campaka. Dari ayahnya, Mahisa Wong Atleng, Mahisa Campaka mendapatkan Pasukan Balatamtama Banteng berwarna Hitam. Sedangkan dari ibunya, Putri Campaka, Mahisa Campaka mendapatkan Pasukan Balatamtama Banteng berwarna Putih.
Sedangkan Ranggawuni, berhasil mendapatkan dukungan dari Pasukan Berkuda (Jaranan) yang sejak dulu sangat setia kepada ayahnya, Anusapati. Setelah Anusapati digulingkan dan dibunuh oleh Tohjaya, Pasukan Berkuda (Jaranan) ini sempat dibuat kocar kacir dan melarikan diri dari Kerajaan Tumapel. Namun berkat kepiawaian dan keberanian Ranggawuni, akhirnya Balatamtama Pasukan Berkuda berhasil kembali disatukan, dan justru semakin kuat, trengginas dan bersemangat untuk membalaskan dendam atas kematian Anusapati.
Kedua Balatamtama, Pasukan Bantengan yang dipimpin oleh Mahisa Campaka dan Pasukan Jaranan yang dipimpin oleh Ranggawuni, kemudian bergabung untuk melawan Pasukan Tohjaya dan Pranaraja yang dibantu Pasukan Sabrang (Wayang Topeng). Dalam pertempuran penghabisan yang sangat sengit, akhirnya Mahisa Campaka dan Ranggawuni berhasil mengalahkan Pasukan Tohjaya, Pranaraja dan Pasukan Sabrang. Meskipun Mahisa Campaka dan Ranggawuni berhasil meraih kemenangan, namun mereka berdua memilih untuk tidak membunuh Tohjaya. Kebijakan yang diambil oleh Mahisa Campaka dan Ranggawuni ini adalah untuk menjaga kestabilan, kerukunan dan memutus dendam turunan yang terus bergejolak di tlatah Kerajaan Tumapel.
Ranggawuni kemudian diangkat menjadi Raja Tumapel, yang kemudian bergelar Wisnuwardhana. Sedangkan Mahisa Campaka diangkat menjadi Ratu Anggabhaya atau Raja Kadiri, yang mendapatkan gelar Narasinghamurti. Keduanya memerintah berdampingan. Hal ini dimaksudkan untuk menciptakan kerukunan di antara keturunan Ken Arok (Mahisa Campaka/Narasinghamurti) dan keturunan Tunggul Ametung (Ranggawuni/Wisnuwardhana). Mereka berdua, Mahisa Campaka dan Ranggawuni, dilambangkan sebagai Dua Ular Naga Kembar Dalam Satu Liang. Diibaratkan bagai sepasang Dewata, yaitu Wisnu dan Indra, yang membawa kedamaian, kesejahteraan serta kebijaksanaan selama masa kepemimpinan mereka berdua. Kelak, Mahisa Campaka/Narasinghamurti akan mempunyai cucu bernama Raden Wijaya yang merupakan pendiri Kerajaan Majapahit.
#NawakNgalam, cerita bersejarah di atas akan dipentaskan untuk merayakan Tahun Baru 2025 di Kota Malang. Dalam kemasan Seni Pertunjukan Drama Tari Bersejarah, yang akan menggabungkan Seni Atraksi Tradisi Bantengan, Jaranan dan Wayang Topeng dengan Judul Lakon: MAHISACAMPAKA BALATAMTAMA.
Pagelaran ini disutradarai Dwi Cahyono, dan Dalang Utama diampu oleh Ki Soleh Adi Pramono Padepokan Mangun Dharma. Pegelaran ini akan menampilkan bakat-bakat muda pelestari seni atraksi tradisi Bantengan, Jaranan dan Wayang Topeng dari Malang Raya, yang diinisiasi oleh Renggo Sejati serta berkolaborasi dengan berbagai kelompok seni atraksi tradisi Bantengan, Jaranan dan Wayang Topeng yang ada di Malang Raya
Menurut Dwi Cahyono selaku Sutradara, Seni Pertunjukan Drama Tari Bersejarah ini bisa menjadi destinasi Tourism Performing Art di Kota Malang. Sebagai wahana rekreasi yang pasti menghibur, serta sangat edukatif mengandung pelajaran sejarah dan nilai-nilai luhur kebudayaan yang berakar dari Malang Raya (Tumapel/Singhasari). Jadi, gelaran event ini tidak hanya sekedar sebagai tontonan, tetapi juga sekaligus menjadi tuntunan keluhuran bagi masyarakat seluas-luasnya. Sehingga, event ini sangat layak untuk disaksikan oleh masyarakat umum dari berbagai usia dan kalangan. Sajian alternatif yang sangat menarik untuk merayakan Tahun Baru 2025.
Sedangkan menurut Ki Soleh Adi Pramono selaku Dalang Utama, Seni Pertunjukan Drama Tari Bersejarah dengan Lakon MAHISACAMPAKA BALATAMTAMA ini merupakan narasi kreatif dan inovatif, yang membawa pesan perdamaian, kerukunan dan keluhuran. Terutama khususnya kepada seluruh pelaku seni atraksi tradisi yang ada di Malang Raya.
Dengan simbolisasi satu kesatuan pementasan Seni Atraksi Tradisi Bantengan, Jaranan dan Wayang Topeng dalam rangkaian kolaborasi pada satu panggung terbuka bersama. Harapannya, pesan-pesan perdamaian, kerukunan dan keluhuran, yang disampaikan melalui Seni Pertunjukan Drama Tari Bersejarah dengan Lakon Mahisacampaka Balatamtama ini, bisa diterima secara terbuka oleh seluruh masyarakat seluas-luasnya. Sehingga perdamaian, kerukunan dan keluhuran, bisa menjadi laku hidup keseharian yang bisa dijalankan dengan sebaik-baiknya oleh masyarakat seluas-luasnya.
Tunggu informasi selanjutnya mengenai Event Seni Pertunjukan Drama Tari Bersejarah dengan Lakon: MAHISACAMPAKA BALATAMTAMA. Mari merayakan Tahun Baru 2025 dengan sangat berkesan, berbeda dari sebelumnya, inspiratif serta edukatif penuh dengan nilai-nilai perdamaian, kerukunan dan keluhuran.
Penulis: Wahyu Eko Setiawan/ Sam WES