Blimbing, (malangkota.go.id) – Nuruli Mahdilis, SH., MH kini menjabat sebagai Ketua Pengadilan Negeri Malang dengan memulai karirnya sebagai calon hakim pada 19 Maret 1993 silam. Berbicara mengenai gender pada saat ini, menurutnya sudah seperti apa yang dicita-citakan oleh Raden Ajeng Kartini.
Ada persamaan di depan hukum, baik laki-laki maupun perempuan serta ada persamaan dalam mencari ilmu, mengenyam pendidikan, dan meraih cita-cita. Beberapa hal itu disampaikan Nuruli saat ditemui di tengah kesibukannya di Kantor Pengadilan Negeri Malang, Selasa (20/04/2021).
Sosok Kartini yang dikenalnya sejak sekolah dasar, menjadi sosok yang melekat pada wanita-wanita muda Indonesia meskipun kini telah memasuki zaman digital. “Kartini itu sosok yang berani dan optimis. Selain itu juga sosok yang sederhana, mau berbagi, kemudian sosok yang cerdas. Jadi jiwa-jiwa atau sifat-sifat yang diwarisi oleh RA. Kartini inilah yang akhirnya sekarang menjadi teladan, figur bagi wanita-wanita Indonesia apalagi di era sekarang,” papar Nuruli.
Sebagai seorang hakim perempuan, Nuruli sangat mengapresiasi perjuangan Kartini. Ia bersyukur karena pada waktu dirinya diangkat sebagai seorang hakim di Indonesia sekitar tahun 1996-1997, perempuan sudah tidak lagi dipandang sebelah mata. Artinya waktu itu untuk mendaftar sebagai seorang hakim yang dimulai dari calon hakim juga dibuka untuk perempuan.
“Dengan beranjaknya waktu sampai sekarang, sudah ada persamaan gender untuk seorang hakim apalagi wanita sehingga tidak masalah. Ada persamaan dalam hal pendidikan maupun pekerjaan,” sambung Nuruli.
Hal ini juga terbukti dalam pengadilan di mana ada persamaan untuk laki-laki dan perempuan. Hanya saja untuk wanita Indonesia, perlakuan untuk perempuan ada sedikit perbedaan sebutan. Untuk wanita tidak disebut dengan sebutan terdakwa melainkan perempuan yang berhadapan dengan hukum. Namun untuk hukum acaranya sama. Bahkan dalam tugasnya sebagai ketua pengadilan untuk membagi perkara tidak pernah melihat dari sisi gender, wanita atau laki-laki tapi lebih kepada profesionalitas.
Membahas perjalanannya sebagai seorang hakim wanita, tentunya ada tantangan serta cerita-cerita berkesan selama meniti karir. Namun, seberapa banyak dan besar pun tantangannya Nuruli mengaku siap mengahadapinya karena ini sudah merupakan komitmen diawal dirinya mendaftar sebagai seorang calon hakim. Salah satunya seperti siap ditempatkan di mana-mana apabila diangkat menjadi seorang hakim. Sehingga salah satu tantangan terbesar baginya adalah ketika harus ditempatkan di sebuah kota yang berbeda.
“Indonesia ini kan kulturnya banyak, berbeda-beda jadi waktu pertama kali diangkat langsung ke Sumatera Barat. Kulturnya berbeda, yaitu Minangkabau tapi bagaimana pun tetap dijalani. Seperti kata pepatah, di mana bumi dipijak, di situlah langit dijunjung. Harus bisa beradaptasi, apalagi kami ditempatkan di mana-mana. Kultur yang berbeda, mengharuskan untuk mengetahui dulu di mana kami berpijak. Tidak mungkin mereka harus mengetahui saya, tapi saya yang harus mengetahui mereka,” terangnya.
Sedangkan cerita yang paling berkesan itu justru bukan dari luar. Namun dari keluarga sendiri, yaitu dari anak-anaknya. Pernah suatu ketika Nuruli terlambat menjemput anaknya sekolah, saat itulah anaknya protes. “Aku tidak mau mamaku jadi seorang hakim, mama sekarang lebih baik jadi guru supaya mendampingi aku di rumah,” Nuruli menirukan protes anaknya.
Di situ Nuruli terenyuh dan lebih mengena dibandingkan saat terkadang menjumpai masyarakat yang protes terkait putusannya di pengadilan, seperti demo dan sebagainya.
“Jadi pelan-pelan, waktu itu ada karnaval. Saya coba pakaikan baju toga persis seperti mamanya dengan kerudung sama warna merah, kemudian guru-gurunya menyebutnya ‘halo ibu hakim baru’ dia merasakan aku mau menjadi hakim. Awalnya betul-betul protes, tapi sekarang berjalannya waktu sekarang mereka mengerti,” tambahnya.
Tapi dirinya juga menyadari di samping menjadi hakim serta sebagai Ketua Pengadilan Negeri, ia juga tidak lupa bahwa dirinya juga sebagai istri dari suami dan ibu dari anak-anaknya. Mungkin pada saat zaman dulu seolah-olah wanita itu sebagai pendamping suami saja, sebagai ibu rumah tangga murni. Tapi sekarang ini ibu rumah tangga juga ibu rumah tangga yang hebat.
“Untuk karir kami sebagai seorang hakim di pemerintahan, tapi saya juga sebagai ibu rumah tangga, sebagai istri dari suami, sebagai ibu dari anak-anak,” ucapnya.
Ia berpesan untuk para wanita dan Kartini muda Malang teruslah belajar dan belajar. Kecerdasan bagi seorang wanita dewasanya bukan saja untuk menjadi pendamping suami dan kemudian di dapur, tidak. Bagi semua wanita hebat baik yang menduduki jabatan di lembaga-lembaga tertentu, wiraswasta bahkan ibu rumah tangga kecerdasaan spiritual maupun mental dibutuhkan dalam mendidik anak-anaknya. Sehingga dapat menjadi anak yang saleh serta berguna bagi nusa, bangsa, maupun agama. (eka/ram)