Berita

Hindari ‘Komunikasi’ dan ‘KUHP’

Dalam pemerintahan ada istilah atau sebutan Plt (Pelaksana Tugas_red) dan pejabat definitif. Masyarakat dan para pejabat pemerintahan harus memahami apa dan bagaimana kedua istilah tersebut dalam penerapannya sehingga tidak timbul multitafsir.

Kepala Biro Lembaga Konsultasi dan Bantuan Hukum (LKBH) Provinsi Jawa Timur, Dr. Himawan Estu Bagijo, SH, MH menjelaskan berbagai hal yang berkaitan dengan pelanggaran hukum, Selasa (24/3)
Kepala Biro Lembaga Konsultasi dan Bantuan Hukum (LKBH) Provinsi Jawa Timur, Dr. Himawan Estu Bagijo, SH, MH menjelaskan berbagai hal yang berkaitan dengan pelanggaran hukum, Selasa (24/3)

Misalnya ada pejabat yang sedang umrah,maka pejabat Plt yang ditunjuk tidak mempunyai kewenangan untuk mengambil kebijakan. Namun jika posisi suatu jabatan kosong, maka harus ada pejabat definitif, jangan Plt. Dengan demikian, pejabat Plt yang ditunjuk bisa memutuskan atau mengambil sebuah kebijakan.

Hal itulah yang disampaikan oleh Kepala Biro Lembaga Konsultasi dan Bantuan Hukum (LKBH) Provinsi Jawa Timur, Dr. Himawan Estu Bagijo, SH, MH dalam acara Sosialisasi Pemahaman Sadar Hukum Bagi Anggota Korpri di Lingkungan Pemerintah Kota Malang yang digelar di Ruang Sidang Balai Kota Malang, Selasa (24/3).

“Jika pejabat terkena masalah hukum, maka Plt bisa mengambil alih tugas dan tanggung jawab pejabat yang bersangkutan. Tugas atau wewenang Plt dan pejabat definitif harus dipahami agar tidak terjadi tumpang tindih atau menimbulkan persepsi baru. Selain itu, juga untuk menghindari perbuatan yang melanggar hukum,” sambung Himawan.

Dia menambahkan, untuk pemberian atau penerimaan SK (Surat Keputusan) harus disertai pelantikan agar jabatan yang dipangku lebih legal. Hal ini ada dalam Undang-Undang (UU) No. 30 tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan. “Di sisi lain, pejabat pemerintah harus melayani masyarakat dengan baik dan detail. Seperti halnya saat mengurus berkas-berkas, persyaratannya harus diberitahu sedetail mungkin,” papar Himawan.

Pelayanan kepada masyarakat ini, kata dia, jangan dibeda-bedakan, misalnya saja antara orang penyandang cacat (difabel) dengan orang normal. Karena mereka adalah sama-sama warga negara Indonesia yang mempunyai hak yang sama. “Jangan sampai terjadi ‘komunikasi’ (teko muni dan kasih) dan ‘KUHP’ (Kasih Uang Habis Perkara),” kelakar Himawan. (say/yon)

 

You may also like

Skip to content