Artikel

Kekerasan Pada Anak, Psikolog Nirma: Penyebabnya Warisan Antargenerasi

Nirma Yullidya, S.Psi., M.Psi, Psikolog

Malang, (malangkota.go.id) – Psikolog Nirma Yullidya, S.Psi., M.Psi mengatakan, bahwa banyaknya kasus kekerasan terjadi pada anak-anak ini disebabkan oleh banyak faktor. Salah satunya adalah faktor penyebab kekerasan pada anak adalah ‘warisan’ antargenerasi. Hal itu disampaikan Nirma saat ditemui di kediamannya pada Sabtu (1/1/2022).

“Perilaku kekerasan dilakukan turun temurun. Karena merasa dulu dirinya juga diperlakukan tidak baik oleh orang tuanya. Kemudian, karena stres secara sosial dan tidak mampu mencukupi kebutuhan keluarga atau secara emosional belum siap untuk berkeluarga dan memiliki anak,” ucap pengajar Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Malang itu.

Terlebih saat ini masa pandemi, hampir semua orang mengalami kesulitan dalam ekonomi, angka pengangguran meningkat, dan pemenuhan kebutuhan meningkat. Namun gaji berkurang, sehingga timbul kekerasan di dalam rumah tangga dan berakibat kepada anak.

Menurutnya, dampak dari kekerasan pada anak juga bervariasi. Anak-anak yang kerap mengalami kekerasan fisik akan berdampak, seperti memar, luka bakar, berdarah, dan lainnya. Selain itu, anak-anak korban kekerasan fisik juga akan mengalami dampak psikologis, akibatnya mereka menarik diri dari lingkungan sosial atau sebaliknya si anak malah memberontak atau menentang.

“Dari kekerasan fisik yang dialaminya ini, anak juga seperti mendapat ‘contoh’ berperilaku kekerasan yang mungkin akan dilakukannya di masa mendatang. Anak-anak yang mengalami kekerasan psikologis akibat yang bisa tampak langsung adalah anak jadi menangis, marah, atau bahkan terdiam. Namun, luka di dalam dirinya bisa membekas dan mempengaruhi perkembangan mental dan perilakunya,” sambungnya.

BACA JUGA: https://malangkota.go.id/2022/01/01/12-566-kasus-kekerasan-anak-terjadi-di-2021-ini-kata-psikolog-nirma-yullidya/

Kadang, kata dia, anak-anak yang mengalami kekerasan psikologis ini rata-rata tidak terlalu tampak langsung. Bisa jadi tidak tampak di rumah, namun dia tampakkan di sekolah atau tempat lain yang bukan lokasi dia mendapat perlakuan kekerasan. Biasanya menjadi anak yang penakut dan tidak percaya diri.

“Psikosomatis ya, trauma pada sesuatu yang berhubungan dengan perilaku kekerasan psikologis yang dialaminya, seperti takut jika ada suara keras hingga histeris, jantung berdebar-debar, hingga keringat dingin. Sampai juga tidak bisa tidur, tidak nafsu makan. Selain tampak ke perilaku, juga berdampak ke perubahan suasana hati, seperti murung, sedih, menangis tiba-tiba, mudah tersinggung, marah, dan tertutup,” ungkap ibu satu putri ini.

Para korban kekerasan seksual biasanya juga mengalami trauma. Anak selalu merasa takut kalau ada laki-laki dan takut disentuh, akan selalu ada perubahan perilaku dan sikap pada anak-anak korban kekerasan seksual ini. Terlebih, saat ini marak terjadi kekerasan seksual yang dilakukan oleh orang terdekat dari anak, termasuk yang punya hubungan darah. Padahal keluarga seharusnya menjadi tempat yang paling aman untuk berlindung.

“Bahkan terjadi eksploitasi seksual, direkam dan lalu dijual. Para korban kekerasan seksual ini tidak menutup kemungkinan juga akan menjadi ‘ketagihan’ melakukan aktivitas sosial dan bahkan bisa saja malah melakukan kekerasan seksual pada anak lain,” bebernya.

Kekerasan sosial juga akan berdampak buruk pada anak-anak. Banyak anak yang merasa tidak aman, tidak nyaman, tidak berharga, sampai punya pemikiran untuk mengakhiri hidupnya. Mereka juga sering menyakiti dirinya sendiri (self harm) untuk menyadarkan bahwa dirinya ada dan hidup.

“Biasanya mereka lebih murung dan menarik diri, bahkan bisa berperilaku sebaliknya. Mereka malah ingin menunjukkan diri dan selalu cari perhatian sama siapa aja. Karena di rumah dia ditelantarkan dan diabaikan. Masyarakat awam dapat membantu pemulihan anak-anak korban kekerasan ini dengan memberikan dukungan sosial,” sebutnya.

Selain itu, bentuk dukungan yang bisa diberikan adalah dengan tidak menanyakan hal yang pernah dialami. Karena pertanyaan tentang hal buruk yang dialami justru akan membuat traumanya semakin melekat dan menyakiti dirinya. Anak ini akan semakin menarik diri, takut keluar karena tidak ingin ditanya atau takut mendengar omongan-omongan orang tentang dirinya.

Melihat fenomena ini, Pemerintah Kota (Pemkot) Malang juga tidak diam. Karena hal ini menyangkut tentang hajat orang banyak. Sehingga melalui Dinas Sosial Pemberdayaan Perempuan Perlindungan Anak Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana (Dinsos-P3AP2KB) Kota Malang telah memberikan pendampingan. Selain itu, ada juga Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Kota Malang telah melakukan hal yang sama.

“Kami juga telah memberikan pendampingan pada anak-anak korban kekerasan dengan bantuan para psikolog melalui Himpunan Psikologi Indonesia (HIMPSI) cabang Malang. HIMPSI berperan aktif dalam memberikan sosialisasi dan penyuluhan, mengadakan diskusi, serta terlibat dalam Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrenbang) Anak Kota Malang,” katanya.

Menurutnya, Pemkot Malang telah melakukan beberapa upaya dalam terkait kekerasan pada anak ini. Pemkot Malang juga aktif melibatkan banyak pihak, seperti organisasi masyarakat yang memang memiliki perhatian khusus pada anak. LPA juga responsif pada adanya laporan terkait kekerasan pada anak.

“Semoga sosialisasi kepada masyarakat terkait perlindungan anak-anak dari bahaya kekerasan, tidak hanya kepada kader. Tapi langsung menyentuh kepada masyarakat,” pungkas Nirma yang telah bekerja sama dengan Pemkot Malang. (ari/ram)

Leave a Comment

Your email address will not be published.

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

You may also like

Skip to content